oleh:
FEBYOLLA PRESILAWATI, SE. MM (1)
MELISA (2)
email :
febyollaraviq.fr@gmail.com
Prolog :
Aceh memiliki tradisi unik menjelang Ramadan bukan saja unik tetapi tradisi ini sudah menjadi
suatu hal yang ditunggu-tunggu masyarakat Aceh. namanya meugang atau makmeugang yang berfungsi untuk menghormati datangnya hari-hari
besar Islam. Tradisi ini berlangsung
turun-temurun sejak masa Kesultanan Aceh beberapa abad lalu yang masih
dilaksanakan hingga kini. Meugang merupakan adat membeli,
mengolah, hingga menyantap daging bersama keluarga. Meugang
biasanya dilaksanakan selama tiga hari dalam setahun, yaitu dua hari sebelum
datangnya bulan puasa, dua hari menjelang hari raya idul fitri dan dua hari
menjelang idul adha, masyarakat berbondong-bondong ke pasar untuk
membeli daging, Meskipun yang utama dalam tradisi
Meugang adalah daging sapi, namun ada masyarakat yang menambah menu masakannya
dengan daging kambing, kerbau atau ayam. Hasilnya diolah menjadi makanan
khas sebelum dinikmati sebagai lauk. Selama perayaan meugang, mudah sekali
menemukan berbagai menu masakan khas dibuat oleh warga, mulai dari kari kameng
atau kari kambing, sie reuboh atau daging rebus, hingga sie puteh atau daging
putih. Menu itu dibuat bergantung pada tiap-tiap daerah di Aceh. Tentu kita di perantauan sangat sedih apabila tidak bisa
menikmati sie ( daging) meugang bersama keluarga.
Pada hari meugang, lazimnya seluruh keluarga berkumpul
untuk makan bersama dengan menu spesial masakan daging. Karenanya, ada juga
yang menyebut uroe (hari) meugang dengan sebutan uroe pajoh-pajoh (makan).
Sehingga dapat dipastikan, pada hari meugang setiap rumah di Aceh akan tercium
aroma masakan daging, baik daging kerbau atau daging sapi. Bahkan ada anggapan
bila tidak masak daging pada saat uroe meugang maka sepertinya terasa belum
dikatakan meugang, selama meugang, anak-anak kerap tidak
diizinkan untuk makan di rumah tetangga oleh orang tua mereka. Mereka wajib
menikmati berbagai menu dengan bahan dasar daging itu di rumah. Meugang seakan
menjadi tradisi wajib sebelum berlangsungnya puasa Ramadan, Idulfitri, dan
Iduladha. Masyarakat yang tidak memiliki kemampuan mendapatkan daging ternak
berbadan besar, tetap mengupayakan membeli ayam. Bagi sebagian masyarakat,
meskipun tengah dalam kesusahan, daging meugang itu wajib walapun hanya
sedikit.
Di Aceh, tradisi ini ikut disemarakkan di kantor-kantor baik
pemerintahan maupun swasta. Pimpinan di kantor saban meugang selalu
mengupayakan daging untuk karyawannya. Di sebagian tempat kerja juga
memanfaatkan waktu untuk berkumpul dengan seluruh keluarga karyawan menyantap
meugang bersama. “Meugang juga memberi kesempatan bagi orang kaya untuk
bersedekah dan anak yatim, kaum duafa untuk bisa ikut makan daging dengan orang
lain. Status masyarakat Aceh saat meugang sama, baik si kaya dan si miskin. Hal
itu diakui oleh masyarakat Aceh.
Tradisi meugang secara turun-temurun telah berlangsung setiap tahun.
Bahkan, tradisi ini menjadi pelengkap perayaan jelang puasa di Serambi Makkah.
“Bagi sebagian masyarakat, rasanya kurang pas kalau menyambut Ramadan tanpa
melaksanakan meugang dan membeli daging. Warga asal Aceh di Jakarta juga tak
ketinggalan meugang sebagai salah satu upaya merawat tradisi yang ditinggalkan
moyang untuk generasi masa kini. Tradisi ini juga dapat dianggap sebagai bentuk
suka cita masyarakat menyambut bulan suci. Menurut
kisah, pada awalnya meugang itu dilakukan pada masa Kerajaan Aceh. Waktu itu,
Sultan memotong hewan dalam jumlah banyak dan dagingnya dibagi-bagikan gratis
kepada rakyat sebagai bentuk rasa syukur kemakmuran dan terima kasih kepada
rakyatnya. Kini meugang sudah sangat berakar dengan orang Aceh. Tradisi ini
malah bisa membantu perjuangan pahlawan Aceh untuk bergerilya, yaitu daging
yang diawetkan. Dengan daging awetan, pejuang Aceh dapat menjaga persediaan
makanan yang tetap berkalori sehingga dapat bertahan selama perang gerilya.
Filosofi lain bisa dipetik dari tradisi meugang itu, katanya, jika dikaitkan
dengan Islam yaitu bentuk syukur kepada Tuhan yang telah memberikan rezeki
“karena orang Aceh sangat kental dengan nilai-nilai keislaman”.
Sudah jadi tradisi, setiap kepala rumah tangga
membeli minimal dua atau tiga kilogram daging untuk disantap bersama seisi
rumah. Pantang bagi satu keluarga kalau tidak memasak daging pada hari meugang,
sementara dari rumah tetangga tercium aroma masakan kari daging, sehingga
anak-anak dilarang keluar rumah untuk bermain pada hari meugang. “Malah, bagi
seorang pria yang baru menikah seperti diwajibkan untuk membeli daging minimal
tiga kilogram untuk dibawa pulang ke rumah mertuanya. Kalau hal itu tak
dilakukan, maka aib bagi mempelai pria dan keluarga tersebut, karena mereka
akan malu kepada orang seisi kampung.“Kalau di pedesaan yang masih kuat
adatnya, mempelai pria itu bisa jadi tidak diterima lagi sebagai menantu kalau
tak membawa pulang daging. Ada anggapan menarik dalam tradisi ini dimana
apabila seorang manantu tidak membawa pulang daging meugang kerumah mertua maka
menantu tersebut dianggap lemah dan sang pemuda malang tersebut akan merasa
sangat malu.
Namun hal ini hanya berlaku apabila sang menantu
masih menetap di rumah mertua, akan lain halnya apabila sudah memiliki rumah
sendiri, membawa pulang daging meugang bukanlah suatu kewajiban yang akan
memalukan bila tidak dilaksanakan. Tradisi turun temurun ini tidak ada yang
tahu pasti kapan mulai dilaksanakan namun tujuan dari tradisi ini pada dasarnya
disebabkan oleh anggapan daging adalah makanan yang mahal dan tidak menjadi
lauk keseharian. Dengan anggapan tersebut maka meugang dilaksanakan 3 kali
setahun dengan tujuan semiskin apapun masyarakatnya maka setiap 3 kali setahun
maka masyarakat akan menikmati daging tidak peduli mereka memiliki uang atau
tidak. Perayaan meugang tidak hanya memiliki makana lahiriah sebagai perayaan
menikmati daging, melainkan juga memiliki bebrapa dimensi nilai yang berpulang
pada ajaran islam dan adat istiadat masyarakat Aceh. Mereka yang melakasanakan
tradisi Meugang di Aceh memang mengenal sebuah pepatah, “sithon ta mita, Si
uroe tapajoh. Setahun kita mencari rezeki, sehari kita makan. Pepatah ini cukup
tepat untuk mengambarkan betapa hari meugang bagi masyarakat aceh merupakan
hari yang penting, dimana kebahagiaan dapat diwujudkan dengan cara menikmati
daging secara bersama-sama.
Sejarah Tradisi
Meugang
Meugang adalah salah satu tradisi dilakukan oleh masyarakat Aceh dalam
menyambut hari besar Islam,
khususnya saat menjelang Bulan
Ramadhan, hari raya Idul Fitri, dan hari raya Idul Adha. Tradisi tersebut mereka lakukan dengan cara
menyembelih hewan kurban berupa sapi atau kambing dalam jumlah yang banyak.
Daging kurban tersebut kemudian dibagikan kepada warga atau masyarakat yang
kurang mampu untuk dimasak dan dinikmati bersama keluarga mereka masing-masing.
Tradisi Meugang ini merupakan salah satu tradisi masyarakat Aceh yang
sudah ada sejak lama dan masih terus dilakukan hingga sekarang.
Menurut
beberapa sumber sejarah yang ada, Tradisi Meugang ini sudah ada ratusan tahun
yang lalu, tepatnya dimulai sejak masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda di Kerajaan
Aceh. Pada saat itu sultan mengadakan acara memotong hewan kurban dalam jumlah
yang banyak dan dagingnya dibagi-bagikan kepada seluruh rakyatnya. Hal ini dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur sultan atas
kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya. Selain itu hal ini juga dilakukan
sebagai rasa terima kasih sultan kepada rakyatnya yang telah mengabdi dan terus
mendukung pemerintahannya. Acara tersebut kemudian terus berlanjut dan menjadi
tradisi di kalangan masyarakat Aceh. Hingga kini Tradisi Meugang masih terus
lakukan setiap tahunnya
Waktu Dan Tempat Pelaksanaan Tradisi Meugang
Tradisi
Meugang biasanya selalu dilakukan 3 kali dalam setahun, tepatnya 2 hari sebelumbulan puasa, hari raya Idul Fitri, dan hari raya Idul Adha. Untuk tempat
pelaksanaan Tradisi Meugang, biasanya tergantung kesepakatan masyarakat, bisa
di tanah lapang atau tempat khusus yang biasa disiapkan warga untuk melakukan
tradisi ini. Selain dilakukan di kalangan masyarakat, Tradisi Meugang bahkan
juga sering dilakukan di lingkungan instansi, sekolah, maupun perusahaan yang
ada di sana.
Sebelum
pelaksanaan Tradisi Meugang, biasanya semua keperluan seperti biaya
kurban,jenis hewan, dan tempat pelaksanaan, sudah dimusyawarahkan secara
bersama dan dipersiapkan jauh hari sebelum pelaksaannya. Hal ini tentu
dilakukan agar pelaksanaan meugang dapat berjalan lancar dan bisa dilakukan
secara adil dan hikmat sesuai dengan kesepakatan bersama.mDalam pelaksaannya, hewan kurban dikumpulkan dalam suatu tempat
yang sudah ditentukan. Dengan dipimpin oleh kepala adat, semua warga yang
ditugaskan berkumpul dan melaksanakan tugasnya masing-masing, baik yang
memotong, membersihkan, dan yang membagikan. Pembagian daging kurban ini
dilakukan secara adil dan merata, agar semua warga dapat menerimanya. Setelah
pembagian selesai, maka daging akan diberikan ke semua warga. Daging tersebut
kemudian dimasak dan dinikmati bersama keluarga mereka masing-masing.
Nilai-Nilai Dalam Tradisi Meugang
Bagi
masyarakat Aceh, Tradisi Meugang merupakan salah satu tradisi yang sangat penting dan kaya akan nilai-nilai, diantaranya :
a.
Nilai Religius
Hal ini terlihat dari
pelaksanaan Tradisi Meugang yang dilakukan pada hari besar umat Islam, di mana
mereka menyambut hari besar tersebut dengan suka cita. Selain itu Tradisi
Meugang juga dimaknai sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat atas kehidupan
yang Tuhan berikan kepada mereka. Sehingga mereka bisa melaksanakan dan
merayakan kembali hari hari besar yang penuh rahmat tersebut. Upaya masyarakat Aceh untuk merayakan datangnya bulan puasa dan dua
hari raya, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Bagi masyarakat muslim pada umumnya,
datangnya bulan ramadhan disambut dengan gegap gempita, begitu juga dengan
masyarakat Aceh. Meugang menyambut datangnya bulan ramadhan merupakan perayaan
Meugang yang paling Meriah, karena masyarakat Aceh percaya bahwa Nafkah yang
sudah dicari selama 11 bulan penuh harus dinikmati selama bulan Ramadhan sambil
beribadah.
b.
Nilai Berbagi ( Bersedekah )
Perayaan
Tradisi Meugang merupakan salah satu moment yang sangat berharga bagi
masyarakat Aceh. Di mana pada perayaan tersebut, mereka bisa berbagi bersama.
Tidak hanya kepada masyarakat biasa, namun juga kepada warga yang kurang mampu,
atau fakir miskin, sehingga mereka juga bisa ikut merayakannya, Mungkin ada masyarakat yang tidak pernah merasakan nikmatnya
daging, dengan adanya Meugang mereka akan dapat merasakannya.
c.
Nilai Kebersamaan
Semangat
kebersamaan juga sangat terasa dalam perayaan meugang ini, di mana masyarakat
berkumpul untuk memotong dan berbagi hewan kurban. Selain itu setelah
dibagikan, setiap keluarga akan memasak daging tersebut dan menikmatinya
bersama keluarga atau tetangga, dan akan berlangsung pertemuan silaturrahmi
diantra saudara yang baru pulang dari perntauan.
d.
Menghormati
Orang Tua
Tradisi Meugang tidak
hanya memperesentasikan kebersamaan dalam keluarga, akan tetapi juga menjadi
ajang bagi para menantu untuk menaruh hormat kepada mertuanya. Hal ini
merupakan simbol bahsawanya lelaki tersebut telah mampu
memberi nafkah untuk
keluarga dan juga menantunya
Perkembangan Tradisi
Meugang
0 Komentar