Penulis : FEBYOLLA PRESILAWATI, SE. MM

                RITA ADELIDA

Emas yang sering di gunakan sebagai mahar (sumber: Google Img)

BAB I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Adat Mahar telah menjadi suatu hal yang ditakuti oleh sebagian besar  pemuda yang ingin menikah. Perspektif pemuda tersebut didasari oleh fakta  yang sebagian besar perempuan saat inimeminta mahar dalam jumlah yang  tinggi.  Tingginya kadar mahar telah menjadi masalah sosial yang mencakup seluruh masyarakat, baik yang tinggal  di pedalaman maupun di daerah yang sudah berperadaban tinggi. Fenomena ini menanamkan sebuah tradisi dan budaya pada masyarakat sehingga menjadi tuntutan yang tidak bisa dihindarkan. Apabila ada yang tidak  mengikuti maka akan menjadi bahan celaan orang lain. Fenomena tingginya kadar mahar telah menjadi  sebuah hambatan bagi pasangan yang ingin menikah. Para laki-laki merasa tertekan, sementara wanita hanya diam dan putus asa menghadapinya. Hal ini menyebabkan keengganan banyak laki-laki untuk menikah. Tingginya jinamee di tentukan oleh keluarga perempuan dan disepakati lagi dengan  pihak keluarga laki-laki.

Mahar (maskawin) bukanlah untuk menghargai atau menilai perempuan, melainkan sebagai bukti bahwa calon suami sebenarnya cinta kepada calon isterinya, sehingga dengan suka dan rela hati mengorbankan hartanya untuk diserahkan kepada isterinya, sebagai tanda cinta sebagai pendahuluan, bahwa suami akan terus menerus memberi nafkah kepada isterinya, sebagai kewajiban suami terhadapi isterinya. Oleh sebab itu, maskawin tidak ditentukan berapa banyaknya, tetapi cukup dengan tanda cinta hati. Laki-laki yang tidak mau membayar mahar adalah suatu bukti bahwa laki-laki itu tidak menaruh cinta walaupun sedikit kepada isterinya (Mahmud, 1979).

Tingginya mahar di Aceh menjadi  faktor penghambat pasangan yang akan menikah sehingga meningkatkan  perzinaan, hamil di luar nikah, dan bertambahnya laki-laki dan wanita yang melajang di Aceh. Selain itu, karena tingginya mahar untuk melamar wanita  Aceh, seharusnya Pemerintah mencetuskan program Jaminan Mahar Aceh (JMA) bagi laki-laki yang ingin menikah sebab mahar dalam adat turun temurun masyarakat Aceh dianggap

memberatkan setiap laki-laki lajang di Aceh yang ingin menikah. Mahar yang terlalu tinggi juga dinilai lebih banyak menimbulkan  kerugian dibandingkan dengan manfaat, seperti terhambatnya pernikahan  karena tidak semua laki-laki dapat memenuhi permintaan tersebut. Selain itu, mahar yang berlebihan berpotensi menimbulkan hal yang negatif setelah  menikah. Seorang laki-laki bisa saja merasa berhak melakukan kekerasan terhadap istrinya karena merasa telah memberikan mahar yang tinggi.

            Fenomena mahar tinggi di Aceh salah satunya di Kecamatan Teunom, Kabupaten Aceh Jaya menyebabkan pro dan kontra,  kesenjangan sosial yang terjadi akibat mahar tinggi, jumlah-jumlah mahar yang bervariatif di setiap daerah di Aceh, serta dampak dan manfaat yang dirasakan terkait mahar yang tinggi, membentuk sebuah sikap terhadap mahar tinggi pada masyarakat Aceh dalam melihat fenomena ini. Berdasarkan berbagai pemaparan di atas, maka dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui bagaimana gambaran sikap terhadap mahar tinggi pada masyarakat Kecamatan Teunom,  Kabupaten Aceh Jaya.

 

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan diatas peneliti ingin mengetahui beberapa hal yang dirumuskan dalam beberapa pertanyaan dibawah ini:

a.       Bagaimana gambaran umum sikap terhadap mahar yang tinggi pada masyarakat Kecamatan Teunom,  Kabupaten Aceh Jaya.

b.      Bagaimana gambaran sikap terhadap mahar yang tinggi pada masyarakat Kecamatan Teunom,  Kabupaten Aceh Jaya, dilihat dari tingkat pendidikan.

c.       Berapa jumlah mahar yang tinggi menurut masyarakat Kecamatan Teunom,  Kabupaten Aceh Jaya.

d.       Berapa jumlah mahar yang rendah menurut masyarakat Kecamatan Teunom,  Kabupaten Aceh Jaya.

 

1.3.  Manfaat

Bisa memberikan gambaran tentang besarnya mahar dan bisa memberikan tentang penjelasan di Kecamatan Teunom,  Kabupaten Aceh Jaya.

 

 

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana dalam ilmu psikologi, khususnya dibidang Psikologi Sosial dalam menjelaskan sikap terhadap mahar tinggi pada kecamatan teunom,kabupaten aceh jaya. Selain itu diharapkan penelitian ini dapat menambah sumber kepustakaan dan penelitian Psikologi Sosial sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai penunjang untuk bahan penelitian lebih lanjut.

 2. Manfaat Praktis

a.       Sebagai masukan bagi Lembaga Adat di kecamatan teunom,kabupaten aceh jaya,dan pengamat sosial mengenai bagaimana gambaran sikap terhadap jinamee tinggi pada masyarakat Aceh.

b.      Sebagai masukan dan informasi bagi masyarakat Aceh sehingga dapat mengetahui dan memahami bagaimana gambaran sikap terhadap mahar tinggi pada masyarakat kecamatan teunom,kabupaten aceh jaya.

 

 

BAB II. MAHAR

2.1 Sejarah Mahar

Mahar atau mas kawin adalah harta yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki (atau keluarganya) kepada mempelai perempuan (atau keluarga dari mempelai perempuan) pada saat pernikahan. Istilah yang sama pula digunakan sebaliknya bila pemberi mahar adalah pihak keluarga atau mempelai perempuan. Secara antropologi, mahar seringkali dijelaskan sebagai bentuk lain dari transaksi jual beli sebagai kompensasi atas kerugian yang diderita pihak keluarga perempuan karena kehilangan beberapa faktor pendukung dalam keluarga seperti kehilangan tenaga kerja, dan berkurangnya tingkat fertilitas dalam kelompok.

Mahar juga kadang-kadang diartikan sebagai pengganti kata biaya atas kompensasi terhadap proses pengajaran ilmu atau pun kesaktian dari seorang guru kepada orang lain. Meskipun tidak ada sumber resmi yang menyebutkan secara jelas, budaya mahar dipercaya sudah ada sejak zaman purbakala seiring dengan berkembangnya peradaban manusia. Penemuan tertua yang mengatur tentang tata cara pemberian mahar tercatat pada piagam Hammurabi yang menyebutkan:

·         Seorang laki-laki yang telah memberikan mahar kepada seorang mempelai wanita, tetapi mempersunting wanita lain tidak berhak mendapat pengembalian atas mahar yang telah diberikannya. Apabila ayah dari mempelai wanita menolak menikahkan maka laki-laki tersebut berhak atas pengembalian mahar yang telah diberikannya.

·         Jika seorang istri meninggal tanpa sempat melahirkan seorang anak laki-laki, ayah dari istri tersebut harus memberikan mahar sebagai denda kepada pihak laki-laki, setelah dikurangi nilai dari mahar yang diberikan pihak laki-laki.

Secara terminologi mahar adalah pemberian wajib dari calon suami kepada calon isteri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang isteri kepada calon suaminya (Muhammad zuhaily 2013). Atau pemberian yang diwajibkan bagi calon suami oleh calon isterinya, baik dalam bentuk benda atau jasa/pelayanan (memerdekakan, mengajar, dan lain sebagainya) dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan, ketika dilangsungkan akad nikah. Mahar juga salah satu unsur terpenting dalam proses pernikahan (abdul 1996)

Mahar menurut ajaran Islam, bukanlah dimaksudkan sebagai harga, pengganti atau nilai tukar bagi wanita (calon isteri) yang akan dinikahi. Mahar hanyalah sebagai bagian dari lambang atau tanda bukti bahwa calon suami menaruh cinta terhadap calon isteri yang akan dinikahinya. Pada dasarnya Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita dengan memberi hak kepadanya, di antaranya hak untuk menerima mahar (maskawin). Mahar hanya diberikan oleh calon suami kepada calon isteri, bukan kepada wanita lainnya atau siapapun walaupun sangat dekat dengannya. Orang lain tidak boleh mengambilkannya apalagi menggunakannya, meskipun oleh suaminya sendiri, kecuali dengan ridha dan kerelaan isteri (m.quraisy).

Pemberian  wajib  yang   diserahkan  mempelai   laki-laki  kepada  mempelai

perempuan tidak dalam  kesempatan akad nikah atau setelah selesai peristiwa akad nikah tidak disebut mahar, tetapi nafaqah. Bila pemberian itu dilakukan secara sukarela di luar akad nikah tidak disebut mahar atau dengan arti pemberian biasa, baik sebelum akad nikah atau setelah selesainya pelaksanaan akad nikah. Demikian pula pemberian yang diberikan mempelai laki-laki dalam waktu akad nikah, namun tidak kepada mempelai perempuan, tidak disebut mahar (Ibrahim 2001).

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa hikmah mahar yaitu:

1) Menunjukkan kemuliaan kaum perempuan. Perempuan lah yang dicari, bukan mencari dan yang mencarinya adalah laki-laki,

2)  Untuk   menampakkan  cinta  dan  kasih  saying  seorang suami kepada isterinya

sehingga   pemberian   harta   itu  sebagai  nihlah  dari  padanya,  yakni   sebagai

pemberian,  hadiah   bukan   sebagai  pembayaran  harga  sang  perempuan,

3)  Sebagai lambang kesungguhan. Pemberian harta ini menunjukkan bahwa laki-laki bersungguh-sungguh dalam mencenderungi perempuan, bersungguh-sungguh dalam berhubungan dengannya,

4) Bahwa  Islam  meletakkan  tanggung  jawab  keluarga  ditangan  laki-laki (suami).(amir(yusuf 1995)

karena  dalam  kemampuan  fitrahnya  dalam  mengendalikan  emosi  (perasaan)

lebih   besar  dibanding  kaum  perempuan.  Laki-laki   lebih   mampu   mengatur

kehidupan  bersama  ini  oleh  karena  itu  wajarlah jika laki-laki yang membayar

mahar  karena  ia   memperoleh  hak  seperti  itu,  dan  disisi  lain  ia  akan  lebih

bertanggung   jawab   serta  tidak   semena-mena  menghancurkan  rumah  tangga

hanya karena masalah sepele (Muhammad daud 2012).

           

2.2 Dampak Sosial

Mahar berupa mayam di Kecamatan Aceh Jaya memberikan dampak negative bagi kaum laki-laki, dimana mahar yang di tetapkan berdasarkan pendidikan seorang wanita, yang akan di nikahi. Semakin tinggi penidikan wanita tersebut, maka maharnya pun semakin tinggi. Beberapa kaum laki-laki pun tak berani melamar wanita yang dia sukai karna terkendala mahalnya mahar. Tetapi, mahar yang tinggi merupakan symbol keseriusan laki-laki terhadap wanita yang di cintainya. Laki-laki yang serius akan berusaha bekerja keras untuk mampu mencapai mahar yang di tetapkan.

Muhadzdzier (2013) menyatakan tingginya jinamee di Aceh menjadi faktor penghambat pasangan yang akan menikah sehingga meningkatkan perzinaan, hamil di luar nikah, dan bertambahnya laki-laki dan wanita yang melajang di Aceh. Selain itu, karena tingginya jinamee untuk melamar wanita Aceh, seharusnya Pemerintah mencetuskan program Jaminan Mahar Aceh  (JMA) bagi laki-laki yang ingin menikah sebab jinamee dalam adat turun temurun masyarakat Aceh dianggap memberatkan setiap laki-laki lajang di Aceh yang ingin menikah.

Jinamee yang terlalu tinggi juga dinilailebih banyak menimbulkan kerugian dibandingkan dengan manfaat, seperti terhambatnya pernikahan karena tidak semua laki-laki dapat memenuhi permintaan tersebut. Selain itu,jinamee yang berlebihan berpotensi menimbulkan hal yang negatif setelah menikah. Seorang laki-laki bisa saja merasa berhak melakukan kekerasan terhadap istrinya karena merasa telah memberikan jinamee yang tinggi (Marwan Idris, 2011).

 

 

2.2. Bentuk,Jenis Dan Nilai Mahar

Bentuk mahar berupa emas ,Mahar di aceh jaya dari tahun ke tahun berubah-ubah bisa jadi bekisar dari 15 sampai 30 mayam,proses pemberian mayam saat tunangan dalam bentuk emas di berikan sebesar 5 mayam atau 3 mayam,sebagian dari mahar tunangan di jadikan untuk membeli perabotan dalam kamar seperti tempat tidur,lemari,meja hias dan lain-lain,biasanya perabotan kamar mencapai 10 juta rupiah,sisa mahar akan di berikan saat perlangsungan pernikahan atau di waktu sebelum perlangsungan pernikahan,begitulah adat yang sedang berlangsung selama sampai sekarang di kecamatan teunom,kabupaten aceh jaya.


 

 

BAB III. KESIMPULAN

Mahar di Kabupaten Aceh Jaya berupa Mayam. Mayam sendiri adalah semacam takaran emas yang berlaku di masyarakat Aceh. Kalau dikonversikan dengan gram, satu Mayam diperkirakan bernilai sekitar 3,33 gram. Jadi, seumpama emas per gramnya dinilai sebesar Rp 500 ribu, maka satu Mayam adalah sekitar Rp 1.6 juta. Mahar yang tinggi di Kabupaten Aceh Jaya memberikan dampak yang negative bagi para laki-laki, tetapi di balik itu semua, mayam yang tinggi merupakan lambang keseriusan laki-laki.